1. Persinggahan Burung Migran
Burung migran adalah burung-burung pelintas batas negara-negara antara yang bermigrasi dari benua Australia menuju benua Asia. Migrasi ini berlangsung� pada Juni atau hingga November. Dengan menempuh ribuan kilometer, burung-burung migran membutuhkan makanan sebanyak mungkin sebelum berangkat. Makanan itu disimpan sebagai lemak tubuh yang kemudian dipakai sebagai sumber energi untuk terbang jauh. Walaupun demikian, lemak itu tidaklah mencukupi sebagai bahan bakar hingga ke tempat tujuan. Untuk itu mereka harus mendarat untuk mencari makanan tambahan serta beristirahat.
Biasanya mereka berhenti untuk mencari makanan di pantai yang berlumpur, hutan bakau, muara sungai dan persawahan yang kaya akan cacing, kerang, ketam dan serangga. Di Indonesia, salah satu kawasan penting bagi persinggahan burung migran adalah di Pamurbaya. Bahkan, dalam rangkaian migrasi burung-burung ini, Pamurbaya menjadi tempat persinggahan sepanjang tahun. Puncaknya adalah saat musim angin barat, yakni antara Desember hingga Februari. Burung migran yang mampir di Pamurbaya berasal dari belahan bumi utara (Siberia) ke belahan bumi selatan, yakni Australia sampai Selandia Baru.
Beberapa jenis burung migran yang bisa ditemui di Pamurbaya, diantaranya Cerek kernyut (Pluvialis fulva), Cerek tilil (Charadrius alexandrinus), Kedidi golgol (Calidris ferruginea), Titihan Australia (Tachybaptus novaehollandiae) dan sebagainya.
2. Flagging Pertama di Indonesia
Flagging, atau pemasangan bendera burung migran di Indonesia, berdasarkan catatan Australian Wader Studies Group, pertama kali dilakukan di Wonorejo, Surabaya. Yakni pada tahun 2007 oleh Iwan "Londo " Febrianto dan Yuwana Peksa Hutama. Kedua adalah arek Suroboyo yang dikenal kalangan internasional sebagai birdwatcher.
3. Bubut Jawa
Bubut Jawa (Centropus nigrorufous) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Javan Coucal merupakan salah satu burung endemik Jawa yang hidup di SMMA. Spesies ini diketahui menghuni daerah pesisir yang banyak ditumbuhi pohon mangrove dan nipah. Secara spesifik burung ini sering menggunakan daerah rawa yang di dominasi oleh tumbuhan gelagah Saccharum, Acrosticum, Imperata dan Nypa (Andrew, 1990). �
Bubut jawa telah dimasukkan ke dalam kategori burung terancam punah di dunia dengan status rentan atau vulnerable� (BirdLife International, 2001). Status ini berarti Bubut Jawa memiliki peluang untuk� punah lebih dari 10% dalam waktu 100 tahun, jika tidak ada upaya serius untuk melindungi populasi dan habitatnya (Shannaz et al. 1995). Ancaman utama terhadap spesies burung yang pemalu ini ialah pengrusakan dan hilangnya sebagian besar habitat yaitu hutan mangrove dan rawa di daerah pesisir.
Meskipun sebelum tahun 1950�??an diyakini tersebar di banyak daerah pesisir bagian utara Pulau Jawa dalam jumlah cukup banyak, namun kian hari kian berkurang lokasi penemuannya. Selain di Pamurbaya, Bubut Jawa hanya bisa ditemui di Muara Angke (Jakarta), Muara Gembong (Bekasi), Muara Cimanuk, Ujung Pangkah, Sidoarjo� dan Cilacap (BirdLife International, 2001).
4. Terbesar, Terkecil dan Terpanjang
Di Pamurbaya, kita bisa menemukan burung air terbesar, yakni Cangak Merah (Ardea purpurea). Dalam usia dewasa, rata-rata Cangak Merah tingginya 1 meter. Selain itu, kita juga bisa melihat Remetuk Laut (Gerygone sulpurea) di Pamurbaya. Remetuk Laut merupakan burung yang dikenal mungil, hanya sebesar ibu jari orang dewasa. Ada juga Gagang-bayam timur (Himantopus leucocephalus),� burung dengan kaki terpanjang di seluruh dunia.
5. Crab-Eating Monkey
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dalam Bahasa Inggris disebut juga sebagai Crab-Eating Monkey. Sebab, primata ini dikenal suka makan kepiting yang dipancing menggunakan ekornya. Di beberapa koloni monyet di Pamurbaya, masih bisa dilihat aktifitas memancing kepiting menggunakan ekor. Aktifitas ini juga menunjukkan bahwa primata di Pamurbaya masih alamiah dan belum terusik oleh manusia.
6. Woody Wood-Pecker
Penggemar kartun tahun 1990-an pasti ingat dengan Woody Wood-Pecker atau Si Burung Pelatuk. Di Pamurbaya, burung jenis ini relatif mudah ditemui. Dikenal dengan nama lokal Caladi ulam (Dendrocopus macei), Si Burung Pelatuk ini sering dijumpai sedang mengetuk-ngetukkan paruhnya ke batang pohon Pidada untuk mencari serangga sebagai makanannya.
Sumber : wamsby.wordpress.com